![]() |
Ilustrasi Sungai di Banjarmasin |
TAK SEMUA kenangan bisa disimpan dalam album. Beberapa kenangan justru mengalir dalam ingatan, seperti riak air yang terus bergemuruh meski sungainya telah lama mati. Kuripan; bukan sekedar nama sebuah kawasan di Banjarmasin, tapi ruang hidup yang dulu begitu menyatu dengan air, dengan getar arus sungai yang tak pernah lelah menopang denyut warga kota. Dari tahun 1974 hingga sekitar pertengahan 1982-an, ketika pernah menetap, tumbuh dan hidup di tiga titik kawasan berbeda di Jalan Kuripan gang 1; lanjut ke-gang 3 yang masuknya dari jalan raya Kuripan seberang Masjid Safaah dan kemudian terakhir menetap di Komplek Cempaka Putih gang 10. Semuanya tak jauh dari satu tubuh air yang kala itu masih begitu bernyawa: Sungai Kuripan.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Lebarnya bisa mencapai 8 hingga 12 meter, seperti napas panjang yang memeluk tepian rumah kami. Sungai itu bukan hanya urat nadi kota, tapi juga detak jantung kehidupan sehari-hari warga. Dari sungai inilah datang sayur-mayur segar, buah-buahan, ikan haruan, papuyu, hingga kebutuhan papan berupa kayu, sirap, dan atap rumbia yang dijajakan dari atas jukung atau klotok. Pedagangnya datang menyusuri aliran air, sementara pembelinya menyambut dari dapur-dapur rumah panggung yang menjorok ke air. Tak ada pasar, tak ada lapak, tak ada pungutan. Hanya ruang ekonomi rakyat yang tumbuh dari kesahajaan dan saling percaya.
Sungai Kuripan bukan entitas yang berdiri sendiri. Ia bagian dari sistem urat-urat air yang membentuk jaringan halus kota. Ia bersumber dari Sungai Martapura, mengalir melewati Sungai Keramat, Veteran, lalu bercabang ke Sungai Tabuk atau langsung masuk ke Kuripan. Di ujungnya, ia bersua lagi dengan sungai A. Yani; tepat di dulu bangunan tempat praktik dokter THT Dr. Djoko (sekarang Kantor Bank BJB) dan kemudian menyelinap di kolong jembatan menuju Sungai Ratu Zaleha, lalu ke sungai Pekapuran atau ke sungai Kelayan, hingga menyatu kembali ke Martapura. Di sisi lain, sempalan-sempalan alirannya masuk ke Sungai Bagau dan Tatah Belayung, bersatu dalam pelukan besar Sungai Barito. Sungai bukanlah garis putus-putus, melainkan jaring kehidupan yang saling mengikat satu dengan lainnya.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Semua terkoneksi, semua berdenyut bersama. Anak-anak mandi dan bermain sembari menyelam mencari uang logam yang terjatuh di dasar. Perempuan-perempuan mencuci sambil berbagi gosip riang. Laki-laki memperbaiki jukung, atau bersiap membawa dagangan ke hulu. Suara-suara akrab itu memenuhi udara, membaur dengan aroma khas air sungai dan kayu basah. Dermaga apung dari batang-batang gelondongan ulin, berdiameter besar, disusun empat batang dan diikat kuat. Di ujungnya, toilet apung menjadi saksi bisu bahwa sungai bukan hanya untuk dilihat, tapi juga dipakai; sepenuhnya. Semua fungsi rumah tangga dan ekonomi menggantung pada air.
Dan air tak pernah menolak.
Sungai Kuripan juga sempat jadi jalur penting bagi kapal-kapal penarik kayu gelondongan. Wantilan-wantilan atau penggergajian kayu yang berdiri di sepanjang tepiannya. Suara mesin gergaji bercampur dengan percikan air, menciptakan orkestrasi industri rumah tangga yang khas zaman itu. Tapi di sanalah bencana pelan-pelan dimulai. Serbuk kayu, limbah potongan gelondongan, bertumpuk di tepi sungai. Lama-kelamaan ia bukan sekadar kotoran, melainkan membentuk daratan baru yang membunuh arus air. Air menjadi tak bebas, napas sungai mulai sesak.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Kurun tahun 1975-an, penyempitan mulai nyata. Pembangunan rumah-rumah di atas bantaran, penumpukan limbah wantilan, dan aktivitas manusia yang tak lagi mengindahkan harmoni air mempercepat degradasi. Sungai yang dulu jernih, dalam, dan luas kini mendangkal, menyempit, dan perlahan kehilangan wajah, bahkan menebar bau tak sedap. Kini, apa yang tersisa dari Kuripan? Sisa-sisa alur sempit yang tak mampu lagi membawa jukung. Air yang menghitam, mampet, dan dikepung beton. Dermaga apung lenyap, diganti tembok dan selokan. Ruang jual-beli dari beranda rumah ke klotok sudah tinggal cerita. Sungai tak lagi bisa berbicara, apalagi bernyanyi. Ia dibungkam oleh kerakusan zaman, diasingkan oleh pembangunan yang tak ramah air.
Kita lupa, atau sengaja melupakan, bahwa sungai bukanlah halaman belakang kota. Ia adalah halaman depan, bahkan halaman utama kehidupan kita.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Para ahli lingkungan telah lama mengingatkan bahwa kota-kota besar yang gagal merawat sungai-sungainya akan berhadapan dengan krisis ekologis dan sosial. Sungai yang mati tak hanya menyebabkan banjir, tapi juga memutus sistem sosial-ekonomi tradisional, meningkatkan urbanisasi yang tak terkelola, hingga mempercepat degradasi budaya. Pakar Lingkungan, kalau tak salah bernama Prof Azas Tigor Nainggolan dari Universitas Indonesia pernah menyatakan, “Sungai adalah lanskap ekologis sekaligus lanskap sosial. Mematikan sungai berarti memutus sejarah, identitas, dan konektivitas manusia dengan alam.”
Revitalisasi sungai, karenanya, bukan semata proyek infrastruktur. Ia adalah upaya memulihkan nilai, memulihkan relasi manusia dengan air. Model revitalisasi seperti yang dilakukan di Cheonggyecheon di Korea Selatan atau di Sungai Brantas dan Code di Yogyakarta, adalah bukti bahwa sungai bisa pulih; asal ada kehendak politik, keberpihakan pada rakyat, dan pendekatan ekologis yang tak semata betonisasi.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Sungai Kuripan layak mendapat kesempatan kedua. Ia bukan saluran mati yang harus ditutup rapat, tapi memori basah yang masih bisa disiram harapan. Mulailah dengan membuka kembali akses aliran, membersihkan sedimentasi, mengembalikan sempadan, dan menjadikan tepian sungai sebagai ruang hidup warga: ruang bermain, ruang berjualan, ruang mandi, dan ruang bersosial seperti dulu.
Banjarmasin bukan hanya kota seribu sungai di dalam brosur wisata. Ia adalah kota yang tumbuh dari air, dan hanya akan hidup jika air tetap mengalir. Jika kota ini tak mampu mengembalikan martabat sungainya, maka jangan heran bila suatu hari, anak-anak kita hanya mengenal kata "sungai" dari buku pelajaran, bukan dari jendela rumah mereka.
Baca Juga: Distribusi LPG 3 Kg di Banjarmasin Masih Lancar
Sejatinya kita semua hanya ingin sungai kembali; karena dalam sungai itu, bukan hanya air yang mengalir. Tapi juga kenangan, kehidupan, dan cita-cita akan masa depan yang lebih beradab.
(Subhan Syarief/AI:2025/Batang Banyu Institute)
Follow Portal Banua di Google News